Berjanji

Artikel ini pernah dimuat dalam akumassa.org ( http://akumassa.org/kontribusi/sukabumi-jawa-barat/berjanji/ )

Masih tentang Parungkuda, Sukabumi tempat di mana aku dilahirkan. Cerita baru ketika aku pulang kampung ke Sukabumi sungguh tiada henti.


Rumahku
Sabtu lalu aku pulang ke kampung halaman di Parungkuda. Ketika itu, adik bungsuku sedang berulang tahun ke 12. Saudara-saudaraku datang menghadiri acara ulang tahunnya, meskipun acaranya terbilang sangat biasa: hanya ditemani dengan kue ulang tahun, nasi kuning, ayam goreng, sambal dan lalapan. Dengan bakat memasak turun menurun dari keluarga, semua masakan itu dimasak langsung oleh ibuku.

Dua saudariku sedang menyulam
Dari 3 saudari, ibuku merupakan Si Bungsu. Dulu kakak ke dualah yang kursus memasak, dia mengkhususkan diri pada jurusan membuat kue. Kemudian ilmunya itu diturunkan ke kakak perempuannya dan adik perempuannya, yaitu Si Bungsu, ibuku. Hingga saat ini, 3 saudari itu membuka usaha kue masing-masing. Sedangkan kakak pertama, dulu juga pernah mengambil kursus menjahit. Sama seperti kakak ke dua, kemudian ilmunya itu diturunkan ke saudari-saudarinya. Namun sampai sekarang, yang benar-benar menggeluti bidang jahit-menjahit hanya ibuku. Uwakku yang pernah mengenyam kursus manjahit itu, malahan sering meminta bantuan ibuku, bahkan untuk sekedar menjahit baju-baju yang sobek, karena cuma ibuku yang punya mesin jahit. Terakhir, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ibuku mengambil kursus kecantikan. Namun ibuku berbeda, ilmu salon-menyalonnya tidak diturunkan ke saudara-saudara perempuannya. Bukannya tidak mau menurunkan, namun mereka lebih memilih untuk menyalon gratis ke ibuku.


Kembali ke ruang tamu di mana sedang berlangsung acara ulang tahun adikku. Sambil menikmati hidangan yang seadanya, kami asik berbincang. Banyak perbincangan dengan berbagai tema, dari yang serius hingga perbincangan yang sekedar lewat saja. Namun ada hal yang menarik bagiku, hampir selalu aku dengar kata-kata ‘berjanji’ tersebut dari mulut sebagian besar orang yang hadir di ruangan itu. Awalnya, aku tidak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Setelah mengikuti dan mencerna perbincangan itu, akhirnya aku pun mengerti. Mereka sedang berbincang tentang sistem kredit duit. Banyak sekali sistem peminjaman uang kecil-kecilan yang aku tahu belakang ini di kampungku, mulai dari yang tidak asing kita dengar, seperti arisan, sampai peminjaman uang melalui bank dengan berbagai jaminan.

Dari rumahku ke tempat saudara-saudaraku
Pada suatu hari, salah satu uwakku datang ke rumah. Tidak ada yang aneh dari kunjungannya itu. Di keluargaku kunjung-mengunjungi rumah saudara adalah hal yang biasa, meskipun keseringan hanya untuk bergosip tentang ‘Si Ini’ atau ‘Si Itu’. Letak rumah keluarga-keluargaku cukup berdekatan. Kami bisa saling mengunjungi satu sama lainnya setiap saat. Kunjungan Uwakku itu jadi terlihat aneh ketika anaknya (sepupuku) datang meminta beliau pulang karena sedang ditunggu orang.

Mah, uih atuh! Itu aya ‘tukang Bank’.” (Mah, pulang dong! Itu ada ‘tukang Bank’).
Bejakeun we eweuh kitu, keur ka kampung.” (Bilangin gak ada gitu, lagi ke kampung). Uwakku yang satu ini berprofesi sebagai penyalur pembantu rumah tangga. Biasanya dia merekrut pembantu-pembantu dari kampung-kampung pedalaman.

Anak-anak tetangga/kerabat yang sedang menunggu orang tuanya
mengadakan pertemuan
Ya, aku mengerti maksud dari tukang bank itu. Mereka adalah orang-orang penagih kredit uang, biasanya mereka menggunakan motor. Aku tidak mengerti kenapa para penagih tersebut  dijuluki sebagai ‘tukang bank’. Sepengetahuanku, mereka tidak bekerja di bank, dan Uwakku tidak perlu menjaminkan barang apapun untuk meminjam uang dari si ‘tukang bank’. Hanya perlu memberi fotokopi KTP dan kartu keluarga serta mengisi beberapa formulir. Itu sistem peminjaman uang yang selama ini aku tahu.

Beda lagi dengan sistem kredit uang yang sedang diperbincangkan di acara ulang tahun adikku ini. Mereka terus-terusan mengucapkan kata ‘berjanji’. Yah, daripada aku mati penasaran, akhirnya aku bertanya kepada sepupuku yang ternyata ikut ‘berjanji’ juga.
Naon sih ‘berjanji-berjanji’?” (Apaan sih ‘berjanji-berjanji’?)
Sepupuku itu pun menjelaskan tentang kredit uang itu…
Kredit uang yang ini lebih teratur dan lebih ketat. Sebelum kita menerima uang pinjaman, rumah kita harus disurvei oleh tim pemberi pinjaman. Menurut sepupuku itu, bila rumah yang berlantai keramik serta memiliki kulkas atau barang-barang elektronik yang terlihat mahal, jangan harap mereka akan mendapatkan pinjaman. Kredit uang ini hanya untuk kalangan menengah ke bawah. Namun ada pertimbangan tertentu, seperti: ibuku seorang janda, maka dia bisa mendapatkan pinjaman meskipun lantai rumah kami berkeramik dan kebetulan kami memiliki televisi, kulkas dan barang-barang lainnya.

Para anggota bersiap untuk mengucapkan janji
Para peminjam uang disebut ‘anggota’. Anggota itu dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok memiliki ketua. Semua kelompok itu ada ketuanya juga. Berbeda dengan kelompok anggota, ketua ini memimpin semua kelompok, seperti pemimpin upacaranya. Ada juga pemimpin seperti pembina dalam pramuka, namun dari pihak pemberi pinjaman. Ternyata pemimpin ini adalah kakak kelasku di SMA. Setiap hari Rabu, para anggota peminjam harus berkumpul di rumah salah satu anggota untuk menyetorkan uang cicilan pinjaman mereka. Dan sebelum memulai acara setor-menyetor uang, mereka harus mengucapkan ‘janji’ bersama-sama.

Begini bunyi janji yang diucapkan beramai-ramai: “Janji Anggota, Hadir tepat waktu, setoran tiap minggu, usaha disetujui teman, hasil usaha untuk keluarga, bertanggung jawab bersama dan mau nalangin teman yang macetbayar!” Ajaibnya, mereka semua hapal bunyi ‘janji’ tersebut. Mungkin karena setiap hari rabu mereka berkumpul dan harus mengucapkan janji itu, sehingga mereka terbiasa mengucapkannya. Dan mereka pun harus mengualangi mengucap janji itu ketika acara telah selesai.

Para anggota mengucapkan janji
Bila ada salah satu anggota yang belum bisa membayar cicilan pinjaman, maka para anggota lain harus patungan uang untuk membayarkan lebih dulu cicilan tersebut, dengan syarat si orang itu bisa memastikan kapan dia bisa membayar. Jika ada yang akan meminjam, uang itu akan cair seminggu kemudian. Saat pencairan uang, bila ada salah satu anggota yang tidak datang, maka pencairan diundur minggu depannya. Seperti ketika sepupuku dan suaminya beserta dua anak mereka sedang pulang kampung ke Madura. Sepupuku terpaksa bolos dari ‘berjanji’. Namun pada minggu ke lima, sepupuku terpaksa harus pulang. Sebab akan ada pencairan uang dan semua anggota harus berkumpul, meskipun bukan dia yang menerima uang itu. Tidak ada hari libur untuk pertemuan itu. Misalnya, pada kalender Hari Rabu berwarna merah (menandakan hari libur nasional), mereka tetap harus berkumpul.

Pemimpin upacara sedang mengabsen dan menagih
uang setoran anggota
Ini merupakan sebuah fenomena yang unik dari kampungku. Pinjam-meminjam merupakan suatu acara rutin di Desa Parungkuda, khususnya bagi keluargaku. Seperti lagu Rhoma Irama Gali Lobang Tutup Lobang, pinjam uang di tempat satu untuk membayar hutang di tempat lain.

Sesungguhnya, apa yang terjadi di kampungku ini mencerminkan kemiskinan struktural, dan dalam konteks kasus di Desa Parungkuda, kemiskinan struktural itu mengakibatkan terjadinya kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi bukan secara alamiah, tetapi terjadi karena adanya faktor-faktor yang disengaja oleh pihak-pihak tertentu. Contohnya, kebijakan pemerintah yang mengijinkan pengusaha asing menanamkan modal di Indonesia sehingga para pengusaha, baik dalam maupun luar negeri, bisa mengekploitasi sumber daya yang ada di Indonesia dengan mempekerjakan para buruh dengan bayaran murah.  Akan tetapi tidak ada inisiatif dari pemerintah untuk memajukan pendidikan di Indonesia terutama di kampungku. Contoh yang lain adalah kebijakan pemerintah DKI yang menyatakan tentang dilarangnya memberi sumbangan kepada pengemis, pengamen dan orang-orang yang meminta sumbangan di jalan. Mengapa kebijakan pemerintah ini dapat mengakibatkan kemiskinan struktural? Aku pikir, mungkin karena pemerintah tidak membuat kebijakan untuk para gelandangan, pengemis dan sebagainya. Tidak adanya berbagai tunjangan, jaminan kesehatan, lapangan pekerjaan, dan sebagainya untuk para gelandangan membuat hidup mereka benar-benar tak dapat lepas dari apa yang kita kenal sebagai kemiskinan.
Sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi karena adanya mental atau etos kerja masyarakat yang rendah, misalnya pemalas atau kurangnya kreatifitas untuk memperbaiki kehidupan. Seperti apa yang aku utarakan dalam tulisan ini: karena adanya pola pikir dan mental pemalas untuk memperbaiki hidup, maka mereka mudah terpengaruh untuk menggantungkan hidup pada sistem kredit uang. Tidak adanya sikap untuk memperbaiki kehidupan dan hanya berputar dilingkaran hutang.



Aku percaya, tentunya pola pikir masyarakat di kampungku tidak akan seburuk itu tanpa ada sebabnya. Setelah dipikir-pikir lagi, di sini lah letak keterkaitannya. Karena beberapa kebijakan dari pemerintah dan hadirnya para pengusaha yang mengeksploitasi masyarakat, memunculkan kemiskinan struktural. Karena keterbiasaan dengan pola hidup yang seperti itu, misalnya di kampungku, yaitu masyarakat yang terbiasa hidup dengan menggantungkan diri pada pekerjaan sebagai buruh di pabrik (yang penting bisa menghasilkan uang untuk hidup) tanpa ada usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas pola pikir (pendidikan), akhirnya membentuk pola pikir masyarakat yang susah untuk bangkit dari lingkaran kemiskinan, dan akhirnya memunculkan kemiskinan kultural.
Karena gaji sebagai buruh pabrik tidak mencukupi hidup, mereka menambah penghasilan dengan mengkredit uang. Aku jadi pusing membayangkan situasi yang seperti lingkaran setan ini. Akhirnya, cuma ada lemparan pertanyaan retoris dari sepupuku mengakhiri perbincangan kami:

Dia berkata, “Geunah nyaho minjem duit di dieu mah, kekeluargaan terus bungana leutik.” (enak tau pinjem duit di sini, kekeluargaan, dan bunganya kecil)
Aku menjawab, “Mendingan teu minjem urang mah.” (kalau saya sih, lebih baik tidak pinjam)
Dan dia justru menanggapinya dengan mengatakan, “Ari teu boga duit, kumaha?” (kalau tidak punya uang, gimana?) 


Dian Komala

0 komentar:

Posting Komentar